Jumat, 30 September 2011

cerita di balik abbey road

Abbey Road adalah nama sebuah jalan yang terletak di utara kota London – inggris, di jalan ini pula terdapat sebuah studio rekaman sangat terkenal yaitu “ The Abbey Road Studios”, yang terletak di ujung jalan. Di studio ini pula hampir 90% dari album The Beatles direkam.
Pada bulan April 1969, The Beatles datang bersama-sama untuk merekam album terakhir mereka sebagai sebuah kelompok yang berjudul “Abbey Road“, album ini menjadi karya terlaris mereka. Yang menarik dari album ini dalah cover dari piringan hitam (LP) tersebut.
abbeyroad-album
“Personil The Beatles berjalan menyeberangi zebra cross yang terdapat di persimpangan Abbey Road.” Ini lah gambar dari cover yang terdapat pada album Abbey Road.

abbey_road_album_cover_outtakes
Gambar: www.beatlesgifts.com
Foto ini diambil pada tanggal 8 Agustus 1969 pukul 11.35, proses pengambilan foto ini hanya dilakukan dalam waktu 10 menit dengan 6 kali jepretan, oleh seorang fotografer “Iain Macmillan”, hasil jepretan foto yang ke-5 yang kemudian di pilih menjadi cover album yang kemudian menjadi sangat terkenal dan “Most Iconic” dalam sejarah music pop, hal ini sangat beralasan; album ini menginspirasi imitasi/plagiat bagi group band lainnya dan melahirkan konspirasi teori public tentang berbagai hal yang ada pada album Abbey Road.
Beberapa karya foto/gambar yang terinspirasi oleh Abbey Road Album; The Red Hot Cili Pepers, The Simpsons Album, Teletubbies, J Rocks asal Indonesia, KanYe West, New York City band, Sttellla, dan masih banyak yang lain.
Simpson-Abbey-Road
Gambar: www.bloggersbase.com

teletubbies-abbey-roads
Gambar: www.bloggersbase.com

JRocks-Abbey-Road
Gambar: www.google.com
Kita kembali ke cerita cover album The Beatles – Abbey Road; Keempat anggota The Beatles menggunakan setelan baju yang berbeda: John Lennon berjalan paling depan dengan menggunakan setelan rapih serba putih seperti seorang pastor, sedangkan Ringo Starr berjalan di belakang John Lennon dengan setelan jas hitam seperti petugas pengangkut jenazah dan Paul McCartney berjalan dengan setelan jas santai tanpa menggunakan alas kaki!, dan dengan rokok di tangan kanan, sedangkan George Harrison berjalan paling belakang dengan gaya tidak resmi dan santai.
Pada bagin sebelah kanan latar belakang foto, terdapat mobil polisi dan seorang lelaki yang berdiri melihat keempat anggota The Beatles, namun menurut trendrabbit.com pada saat pengambilan foto ini kondisi yang ada pada saat itu bukan sengaja di atur sedemikian rupa, tetapi kondisi tersebut adalah kondisi apa adanya. Yang menarik pada bagian ini, siapakah sebenarnya lelaki yang sedang berdiri tersebut? Ternya dia adalah “Paul Cole” berasal dari Florida tidak mengenal dan tidak pernah mendengarkan album The Beatles.
Paul-Cole-abbay-roads
Paul Cole - memperlihatkan fotonya yang terdapat pada cover Abbey Road Album, yang tidak pernah di duganya
Menurut Steve Lome; pada saat itu Paul Cole sedangkan berlibur di london bersama istrinya pada tahun 1969, ia tidak mengenal group band dunia yang paling terkenal pada saat itu, menurut Cole; ia hanya melihat “sekelompok orang aneh” yang mondar-mandir menyeberang jalan di depannya. Hampir setahun kemudian, ia melihat album ini secara kebetulan ketika istrinya, seorang pemain orgen gereja, membuat catatan untuk bermain pada acara pernikahan. Saya melihatnya pada sandaran keyboard,” Cole ingat, “dan saya berkata, Hei itu empat orang aneh! Itu, aku ada di sana!” meskipun itu kebetulan, pensiunan salesman ini tidak pernah menikmati The Beatles.
Saya belum pernah mendengar album Abbey Road,” kata Cole, “Aku, telah melihat The Beatles di televisi dan telah mendengar beberapa lagu mereka Ini bukan jenis musik saya. Saya lebih suka musik klasik!
Masih banyak analisa lainya, mengenai kondisi yang ada pada foto cover album Abbey Road ini, pada kesempatan lain akan saya coba lanjutkan ceritanya, bagi teman-teman pembaca yang memiliki info tentang foto ini silahkan tulis di form comment.
Reverensi: www.trendrabbit.com

DI BALIK KEEMPAT LAMBANG TELETUBBIES



4
Anda yang lahir antara tahun 1992 dan 1995 pasti ingat dengan serial televisi anak-anak yang satu ini. Teletubbies adalah serial televisi yang cukup populer sekitar 9-11 tahun yang lalu. Kemungkinan besar Teletubbies juga merupakan bagian dari memori masa kecil anda. Hati-hati, tulisan ini mungkin akan menubah sebagian memori indah masa kecil anda
http://faktabukanopini.blogspot.com/
Teletubbies sebenarnya telah lama menjadi bahan perdebatan di beberapa kalangan di dunia maya, namun masih banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui kontroversi seputar simbol-simbol yang dimiliki oleh anggota Teletubbies. Jadi bersiap-siaplah :)


Tinky Winky
Ingat dengan tokoh yang satu ini? Tinky Winky adalah tokoh Teletubbies yang digambarkan sebagai sosok tertua dan paling besar di antara lainnya. Bagi yang belum tahu, setiap Teletubbies memiliki barang favorit.


Tinky Winky menyukai sebuah tas tangan berwarna merah.

http://faktabukanopini.blogspot.com/


http://faktabukanopini.blogspot.com/

Nah, dari sinilah kontroversi berasal. Tinky Winky selain menyukai tas berwarna merah, juga memiliki perilaku yang sedikit feminin walaupun dia memiliki postur yang paling tinggi dan besar diantara keempat Teletubbies lainnya.
Perilaku inilah yang kemudian dikaitkan dengan simbol segitiga terbalik di atas kepalanya.

Simbol segitiga terbalik pada awalnya dipopulerkan oleh Nazi pada zaman perang dunia ke II. Lambang segitiga terbalik wajib dikenakan oleh setiap orang, terutama yahudi, yang dituduh, diduga, atau terbukti memiliki perilaku gay.


http://faktabukanopini.blogspot.com/
Lambang yang melambangkan pria homoseksual
http://faktabukanopini.blogspot.com/
Lambang yang awalnya melambangkan pekerja yang melakoni pekerjaan memalukan seperti pelacur, mucikari, dll. Tapi akhirnya berubah menjadi lambang untuk wanita lesbian
http://faktabukanopini.blogspot.com/
Lambang ini digunakan untuk menandai tahanan yahudi di kamp konsentrasi yang memiliki perilaku homoseksual

Nah, kalo yang ini anda pasti pernah lihat

http://faktabukanopini.blogspot.com/
Antena Tinky Winky


Menurut saya lambang segitiga terbalik Tinky Winky, perilakunya, warna tubuhnya (ungu disebut-sebut sebagai warna kebanggaan kaum homoseksual), serta item favoritnya yang cocok bukanlah hanya sekedar kebetulan. Bagaimana menurut anda?

Dipsy Lala dan Po

Lalu bagaimana dengan ketiga Tubbies lainnya? Well, saya rasa ketiga simbol lainnya tidak terlalu sulit untuk diterjemahkan
http://faktabukanopini.blogspot.com/    http://faktabukanopini.blogspot.com/



http://faktabukanopini.blogspot.com/http://faktabukanopini.blogspot.com/

http://faktabukanopini.blogspot.com/http://faktabukanopini.blogspot.com/



Sekali lagi saya rasa penempatan lala di antara dipsy dan po pada serial televisi Teletubbies bukanlah sebuah kebetulan belaka.

http://mrcoppas.blogspot.com/2011/08/di-balik-keempat-lambang-teletubbies.html
reyhan.zakaria@yahoo.com (admin) 07 Aug, 2011

--
Source: http://faktabukanopini.blogspot.com/2011/08/di-balik-keempat-lambang-teletubbies.html

kontroversi Dibalik tokoh Teletubbies


Dibalik Teletubbies

Tadi temen chatting nanya, "anja lagi ngapain?"
aku jawab, "nonton teletubies"
teman chatting ku bilang, "hati2 bun katanya film teletubbies juga ada pro kontranya gituch!"

o..ow..
aku langsung tanya mbah google, dan ketemu dengan artikel ini..
Buat para orang tua silahkan dibaca..

Seorang Pendeta terkemuka di Amerika menguraikan misi homoseks di balik tayangan lucu Teletubbies. Kontroversi meluas. Singapura melarang penayangannya. Indonesia?

"Suka nonton Teletubbies?" Bila pertanyaan itu dilontarkan kepada anak-anak, niscaya akan dijawab 'ya'. "Bagus sih. Lain sama Pokemon atau Shinchan yang jorok," kata Eki, murid kelas IV sebuah SD di Rawamangun, Jakarta.

Saat ini, tontonan yang diputar hampir saban hari di Indosiar itu memang sedang digandrungi anak-anak. Television in the tummy of the babies (disingkat Teletubbies, televisi di perut para bocah) adalah film yang menampilkan empat tokoh boneka gendut (tubby) dan lucu bernama Tinky-Winky (berwarna ungu), Dipsy (hijau), Laa-Laa (kuning), dan Po (merah). Di kepala empat sekawan itu ada antena, yang menandakan bahwa televisi memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan bagi anak-anak. Rumahnya berupa lapangan golf yang hijau dan sejuk, disebut Teletubbyland. Di situ ada kincir angin, televisi, kelinci, pancuran air, yang selalu disinari matahari berwajah bayi imut-imut.

Film rekaan Anne Woods dan Andrew Davenport yang pertama kali muncul di Inggris tahun 1995 itu tak sekadar nongol di televisi. Pernik-perniknya juga membanjir di toko mainan, toko buku, mal, pasar, sampai perempatan lampu merah. Bentuknya bisa komik, kartu, boneka, VCD, gantungan kunci, stiker, sikat gigi, tempat nasi, handuk, pigura, dan berbagai asesoris peralatan sekolah. Bahkan kini telah terbit majalah Teletubbies. Pendeknya, sang idola itu bisa menyapa anak-anak di mana saja, kapan saja. Tak mengherankan bila anak-anak begitu akrab.

Cuma, ada satu hal yang agaknya sulit dikenali anak-anak pada umumnya, yakni jenis kelaminnya. Sebab, kostumnya sama, aktivitasnya pun tak berbeda. Robbi Mighfari dan Balivia Andi Permata, murid-murid sebuah TK di Surabaya, mempunyai jawaban berbeda ketika ditanya mana dari anggota Teletubbies yang perempuan. Robbi menjawab Po. "Sebab Po kan warnanya merah," alasannya. Tapi menurut Balivia justru Tinky-Winki-lah, si ungu, yang perempuan.

Bagi Eki, yang paling membingungkan adalah sosok Tinky-Winky, anggota Teletubbies yang paling besar. "Dia itu laki-laki, tapi kadang tingkahnya kayak cewek. Suka mbawa tas dan bunga. Kayak orang banci,' ujarnya.

Di Barat identitas Teletubbies memang sempat menjadi perdebatan heboh. Bermula dari pendapat Pendeta Jerry Falwell dalam sebuah tulisan di National Liberty Journal (Februari 1999) yang menilai Teletubbies membawa misi homoseksualitas lewat tokoh Tinky-Winky. Alasannya? "Tinky-Winky berwarna ungu warna kebanggaan kaum gay dan mempunyai antena segitiga terbalik di kepalanya simbol kebanggaan gay," kata Falwell.

Majalah Time edisi 12 Oktober 1998 juga menyatakan hal yang sama. Di situ dilaporkan bahwa Tinky Winky yang membawa tas/dompet merah merupakan ikon kaum gay di Inggris. Identitas tokoh-tokoh Teletubbies memang tidak jelas. Perbedaan gender hanya digambarkan secara samar dengan suara dan pilihan warna: ungu dan hijau muda untuk laki-laki, merah dan kuning untuk perempuan. Dan di mata Falwell, ini dianggap sebagai pembenaran terhadap aktivitas homoseksual dan biseksual.

Kalangan rohaniwan Kristen menilai, indoktrinasi dini terhadap anak batita (di bawah tiga tahun) lewat Teletubbies akan menyebabkan anak tak bisa membedakan mana laki-laki mana perempuan. Lebih berbahaya lagi kalau anak sudah dicekoki nilai: boleh saja laki-laki sekali-sekali menjadi perempuan, dan sebaliknya. "Diluncurkannya Teletubbies adalah khusus untuk berkomunikasi dengan balita guna memasukkan nilai homoseksualitas. Dengan cerita berbahasa bayi, digambarkan bahwa perilaku homo dan biseks adalah wajar," masih kata Falwell.

Menurut psikolog pendidikan Elzim Khosyiyati, ketidakjelasan identitas ini berbahaya bagi perkembangan psikis anak-anak. "Itu sama dengan mengaburkan esensi dari nilai pendidikan anak yang harus jelas dan tegas," ujar Elzim yang juga aktivis Lembaga Pendidikan Islam Dwi Matra, Surabaya.

Hal senada ditulis Berit Kjos di situs Edutainment. Menurutnya, secara tidak disadari, anak-anak dibentuk Teletubbies untuk bisa menerima kelainan-kelainan perilaku seksual seperti biseksual, homoseksual, dan lesbian sebagai sesuatu yang wajar. Juga, anak-anak dibentuk untuk menjadikan televisi sebagai dunia mereka. Pendapat Kjos ini sama dengan pandangan umum kaum ibu di Inggris yang menilai Teletubbies mensosialisasikan televisi kepada anak-anak dalam usia terlalu dini.

Tuduhan bahwa Teletubbies membawa misi gay segera ditentang keras oleh Ragdoll Productions dan koleganya, produser film ini. Juru bicara untuk Itsy Bitsy Entertainment Co., pemegang lisensi Teletubbies di AS, berdalih bahwa dompet Tinky Winky adalah tas ajaib. "Sebenarnya yang dibawa tak menunjukkan dia gay. Ini adalah pertunjukan anak-anak, cerita," kata Steve Rice seperti dikutip Associated Press (1999).

Yang paling keras menentang Falwell tentu saja kalangan gay. Dalam sebuah wawancara diCBS, Joan Garry yang mewakili Aliansi Gay dan Lesbian, dengan nada cemooh menganggap Falwell sebagai penuduh yang pandir. Sedangkan Michael Colton di harian New York Observer menganggap tuduhan itu sebagai hal yang terlampau aneh dan mengerikan. Stan Yann dalam The Voice malah balik menuduh Falwell sebagai pendeta gemuk seperti Teletubby (tubby= gemuk) yang bodoh.

Namun pendapat Falwell tidak salah bila kita cermat melihat adegan film Teletubbies. Tingkah laku si Ungu memang seperti seorang gay. Dia suka bunga, membawa dompet warna merah, gerak tariannya dan nada nyanyiannya. Sebuah kebiasaan orang perempuan. Padahal keterangan resmi yang dikeluarkan sebuah produsen acara teve anak-anak PBS kids, jenis kelamin Tinky Winky adalah male (laki-laki).

Tinky Winky juga tak segan-segan berebut rok dengan Po. Saat rebutan itu terjadi, 'dewa'-nya Teletubbies matahari bermuka bayi lucu lalu mengatur agar yang berebut rok itu memakainya secara bergantian. Dewa bayi itu seolah menjadi 'tuhan' yang menganjurkan perilaku seks menyimpang.

Kalangan orang tua juga mesti waspada dengan adegan 'berpelukan' yang selalu dilakukan empat sekawan itu di akhir acara. Menurut Elzim, pelukan di antara anggota keluarga wajar, dan baik baik. Namun efek adegan berpelukan Teletubbies sangat didasari kebudayaan Barat. Ibu dua anak ini sekarang kerap menjumpai kecenderungan anak-anak di sekolah yang gandrung Teletubbies sering melakukan pelukan kepada kawan perempuan maupun lelaki, baik berlawanan jenis maupun tidak. "Di satu sisi memang bisa mengakrabkan, tapi di sisi lain bila perilaku ini terus-menerus dilakukan bisa fatal akibatnya. Anak-anak akan terbiasa melakukan pelukan dan ciuman dengan siapa saja tanpa pandang bulu."

Dampak lebih jauh, bila yang gandrung adalah anak laki-laki, akan berbahaya. "Anak laki-laki yang suka boneka Teletubbies akan terpengaruh seperti jiwa anak perempuan, bahkan bisa saja kemudian hari memperlakukan dirinya seperti perempuan atau waria," jelas Elzim.

Tidak hanya ajaran gay. Cara bicara tokoh Teletubbies yang cedal pun banyak diprotes kalangan ibu-ibu di Inggris. Misalnya pelafalan kata 'Halo' menjadi 'Ee-o'. Menurut Elzim Khosyiyati, bahasa cadel semacam itu tidak baik bagi proses pembelajaran kemampuan verbal anak. "Kita seharusnya mengajarkan pesan verbal secara tegas dan jelas kepada anak," ujarnya.

Meski penuh kontroversi, Teletubbies terus melaju tinggi. Ia telah mendatangkan keuntungan 80-an juta poundsterling bagi Ragdoll Productions dan BBC Worldwide, produsernya. Kini 45 negara di dunia menyiarkan serial anak-anak yang ternyata mengusung misi kaum Nabi Luth ini, dan menjadi terpopuler di dunia.

Bagi negeri yang peduli terhadap anak-anak, Teletubbies dilarang. Di Singapura, serial Tinky-Winky dan kawan-kawan ini tidak ditayangkan karena dianggapberpengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa anak. Bagaimana di Indonesia yang mayoritas beragama Islam?

Sumber : http://www.dudung.net/artikel-bebas

Profile Teletubies

SENYUM hangat matahari pagi menyapa bukit hijau nan elok. Empat sekawan Teletubbies --Tinky Winky, Dipsy, Laa-Laa, dan Po-- menyembul dari perut bukit itu. Makhluk bertubuh montok ini, sejak awal November silam, setiap hari pukul 10.00 menghampiri anak-anak lewat layar kaca Indosiar. Mereka menjadi teman main balita.

''Teletubbies memang ditujukan bagi anak berumur dua hingga lima tahun,'' kata Anne Wood, produser yang melahirkan program TV Teletubbies. Anne adalah Direktur Kreativitas Ragdoll Production, perusahaan film di London, Inggris. Menurut Anne, Teletubbies dimaksudkan untuk membendung meluasnya film anak-anak yang memamerkan adu jotos semacam Power Rangers.

Pada musim dingin 1995, Anne mendapatkan ide untuk membuat film yang berkisah tentang dunia yang harmonis serta penuh kasih sayang. Sebuah dunia yang dihuni makhluk polos dan tak berdosa. Anne lantas menciptakan empat makhluk yang hidup di dunia khayalan. Sepanjang hidupnya, makhluk gemuk ini tinggal di dunia yang damai serba berkecukupan.

Keempatnya sengaja dibuat dengan warna tubuh yang berbeda. Yang berwana ungu namanya Tinky Winky. Dipsy berwarna hijau. Yang kuning namanya Laa-Laa. Sedangkan Po berwarna merah. Mereka hidup rukun, bermain bersama, tinggal di sebuah rumah khayalan di bawah tanah. Di pagi hari, mereka bermain di taman bukit hijau yang dihiasi aneka bunga.

Di perut mereka terdapat televisi. Kepalanya dihiasi mahkota antena. Tinky Winky berantena segitiga, Dipsy lurus. Antena spiral bertengger di kepala Laa-Laa, sedangkan Po antenanya bulat. Karena itu, dunia imajinasi karya Anne ini diberi nama Teletubbies --singkatan dari television in the tummy of the babies (televisi dalam perut bayi).

Dari dalam perut bayi Teletubbies ditayangkan berbagai pengetahuan dasar untuk balita. Misalnya tentang cacing di dalam tanah serta bagimana memberi makan ayam. Selain itu, empat tokoh Teletubbies berusaha mengulang ucapan narator. Tujuannya, kata Anne, agar terjadi ''sambung rasa'' antara penonton yang masih balita dan tokoh Teletubbies.

Dengan demikian, bocah cilik akan berusaha bicara dengan tokoh di layar kaca. ''Karena anak-anak melihat Teletubbies berbicara lucu. Hal ini akan mendorong rasa percaya diri anak untuk ikut mencoba,'' Anne menjelaskan. Teletubbies, katanya, merupakan gabungkan teknologi yang diwakili oleh televisi dan kelembutan bayi. Televisi, bagi anak-anak, adalah media ajaib sekaligus menjadi bagian dari dunia anak-anak.

''Mereka yang melarang anaknya nonton televisi sama saja dengan menolak kesempatan belajar bagi anaknya,'' kata Anne Wood, yang juga mengakui adanya ekses negatif dari tayangan televisi. Tapi, seperti halnya buku yang baik, kata Anne pula, tontonan yang baik dapat pula dipilih berdasarkan kebutuhan anak-anak.

Cerita Teletubbies dibuat berdasarkan riset perilaku anak-anak. Riset ini dilakukan dengan mengamati polah bocah-bocah di sebuah toko mainan yang didesain khusus. Periset juga membentuk tujuh kelompok diskusi anak balita. ''Kami memperhatikan cara mereka mengobrol, cara bermain. Juga bagaimana reaksi mereka terhadap program-program yang kami buat,'' kata Anne.

Karakter tokoh Teletubbies dikembangkan bersama Andrew Davenport sebagai penulis skenario. Andrew dan Anne membuat sebuah daftar dari kata dan frase pertama yang diciptakan anak-anak menjadi kosakata tokoh Teletubbies. ''Karena program ini memang dirancang untuk membantu pengembangan bahasa anak,'' Anne menambahkan.

Teletubbies pertama kali ditayangkan di BBC, jaringan televisi Inggris, 31 Maret 1997. Sambutannya luar biasa. Kemudian, BBC Worldwide memasarkannya ke pelbagai stasiun televisi di seluruh penjuru dunia. Kini, program untuk balita ini disiarkan di 45 negara. Hasil penjualan hak cipta Teletubbies pada 1998 mencapai hampir � 79 juta. Jumlah yang sama diperkirakan didapat pada 1999 dan 2000. Pendapatan Anne Wood dari Teletubbies sejak 1998 hingga 2000 rata-rata � 9 juta tiap tahunnya. Anne dinobatkan menjadi ''Britain's Top Businesswoman 1999''.

Sejauh ini, Anne masih merahasiakan proses produksi Teletubbies yang dibuat dengan teknologi animasi ini. Ia melarang wartawan masuk ruang produksinya. Menurut dia, dunia khayal anak-anak tak boleh dicampuri kepentingan orang dewasa.

Anne berang ketika wartawan The Sunday Times, koran terbitan Inggris, memotret pemain Teletubbies dengan kostum tanpa penutup kepala, awal Januari 1999. ''Ini mematikan imajinasi dan dunia khayal anak-anak,'' ujar Anne dengan nada tinggi. Ia mengajukan somasi ke pengadilan untuk menghentikan beredarnya foto-foto tersebut. Sejak itu, pers tak diizinkan hadir dalam proses produksi Teletubbies.

Di Indonesia, Teletubbies berhasil memikat anak-anak balita. Antitirani adalah satu dari sekian banyak balita yang gemar bemain dengan Teletubbies. Gadis cilik berusia dua setengah tahun ini tak pernah melewatkan acara itu. Bahkan, putri kedua Nyonya Yani, warga Jalan Kerja Bakti, Jakarta Timur, ini menangis ketika Teletubbies yang ditunggu dari pagi tak juga muncul di layar kaca. Selasa, 28 Maret lalu, Teletubbies memang absen mengunjungi penggemarnya. Pagi itu, Indosiar menyiarkan langsung jawaban memorandum I Presiden Abdurrahman Wahid dari Gedung MPR/DPR-RI. ''Anak saya menangis selama setengah jam,'' ujar Nyonya Yani.

Menurut Kepala Humas Indosiar, Ghufroni Syakaril, Teletubbies bukan cuma digemari balita. Remaja pun menggandrunginya. Ghufroni mengaku menerima banyak permintaan lewat surat dan telepon agar Teletubbies ditayangkan lebih pagi, sebelum bocah-bocah berangkat sekolah. ''Ada anak yang tak mau sekolah sebelum menonton Teletubbies,'' kata Ghufroni.

Demam Teletubbies tak sebatas di layar kaca. Bonekanya kini menjadi idola anak-anak. Harganya bervariasi, mulai Rp 7.500 hingga Rp 30.000. Beberapa pedagang menyatakan, penjualannya meningkat pesat sebulan terakhir ini.

Nyonya Maria, 36 tahun, pedagang di International Trade Centre (ITC), Mangga Dua, Jakarta Barat, cuma mampu menjual boneka rata-rata 25 buah per hari, dua bulan lalu. Sebulan ini, ia berhasil menjual 100 buah.

Di pusat perdagangan VCD, Glodok, Jakarta, Teletubbies juga diburu penggemarnya. Omset penjualan VCD ini menempati urutan teratas. ''Setiap hari, ribuan VCD Teletubbies terjual,'' ujar Buyung, pedagang VCD di situ. Sebanyak 20 judul VCD Teletubbies beredar di pasaran.

Selain boneka dan VCD, buku cerita tentang Teletubbies juga digemari anak-anak. Selama empat bulan terakhir ini, Penerbit Gramedia sudah menerbitkan 10 judul buku Teletubbies. Semuanya dicetak ulang empat kali. Cetakan pertama diedarkan 7.000 eksemplar, cetakan berikutnya masing-masing 10.000. Semuanya habis disedot pasar. Awal bulan ini, Gramedia mengedarkan buku seri Teletubbies cetakan keempat.

Heboh Teletubbies yang melanda dunia anak-anak Indonesia belakangan ini, menurut Ketua Yayasan Media Ramah Keluarga, Ade Armado, tak dapat dipisahkan dari daya pikat film ini. Kekuatan Teletubbies, kata Ade Armando, terletak pada dunianya yang spesifik anak-anak. ''Mungkin orang dewasa tak tertarik. Tapi, anak-anak sangat menikmatinya,'' ujar Ade kepada Mariana Ariestyawati dari Gatra.

Keunggulan Teletubbies lainnya, kata Ade pula, ceritanya tak mengada-ada. Kekurangan Teletubbies, yang di-dubbing dengan bahasa Indonesia ini, pengisian suaranya dilakukan orang dewasa. Padahal, versi aslinya, suara anak-anak.

Memang, menurut Ade Armando, pernah ada yang bilang bahwa Teletubbies tidak sehat. Alasannya, tokoh dalam film ini tidak jelas jenis kelaminnya. Sehingga ada yang bilang, program acara itu mengajarkan homoseksual atau lesbian. ''Padahal, bisa jadi alam pikiran anak-anak balita itu tak mementingkan jenis kelamin,'' kata Ade Armando.

[Heddy Lugito, Taufik Abriansyah, dan Rita Triana Budiarti]
[Televisi Gatra Nomor 22, beredar Senin 16 April 2001]


URL: http://arsip.gatra.com/2001-04-22/versi_cetak.php?id=5718

usaha foodcourt


Foodcourt

CU Food Court1 300x225 FoodcourtLelah berbelanja? hmmm… enaknya mampir ke foodcourt. Suasana yang mendukung untuk makan atau bahkan hanya sekedar nongkrong sambil menikmati makanan ringan. Kita bisa bebas milih makanan danminuman apa saja, karena biasanya banyak yang jualan dan makanannya pun berbeda-beda.
Budaya jajan dikalangan masyarakat telah menjadi gaya hidup dewasa ini. Pagi, siang dan malam selalu ada aja yang menyempatkan diri makan diluar rumah. Terutama dihari libur, tempat makan atau foodcourt di pusat-pusat perbelanjaan selalu ramai oleh pembeli. Entah itu hanya untuk nongkrong anak muda, atau pertemuan bisnis, atau sekedar kumpul keluarga, foodcourt jadi salah satu tempat favorit. Oleh karena itulah bisnis ini sangat menjanjikan.
Ada beberapa hal yang mungkin bisa Anda ikuti ketika memulai usaha ini.
  1. Desain dan tata letak sangat mempengaruhi selera orang untuk datang. Oleh karenanya, penataan kursi, warna cat, dan sirkulasi udara sangat penting di perhatikan.
  2. Pilihan menu harus menjadi focus utama dalam bisnis ini. Usahakan membuat menu-menu yang inovatif atau sedikit ‘nyleneh’ agar pembeli bisa mengingatnya.
  3. Pilihlah suatu tempat yang strategis, tidak hanya di mall mungkin bisa didekat kegiatan anak muda, sekolah atau kantor-kantor.
Hambatan
Ketika menjalankan usaha ini ada beberapa hambatan yang mungkin akan Anda temui:
  1. Ramainya pesaing dalam usaha ini. Tapi jangan lah takut, selalu berinovasilah dalam meraih pelanggan.
  2. Ketidak stabilan harga bahan baku bisa mempengaruhi harga jual makanan.
Strategi Bisnis
  • Buatlah brosur atau leaflet menu-menu makanan foodcourt Anda, kemudian disebarkan disekitar lingkungan tempat usaha.
  • Berikanlah diskon yang cukup menggoda konsumen untuk datang ke foodcourt Anda.
  • Tawarkanlah beberapa fasilitas lainnya yang bisa diberikan seperti teh botol gratis jika memesan paket tertentu.
Analisa Bisnis

Aset dan modal awal
Sewa tempat                                        Rp 22.000.000,00
Peralatan masak                                    Rp  1.720.000,00
Meja, kursi, dll                                   Rp  8.000.000,00+
Total modal awal                                   Rp 31.720.000,00

Jika masa manfaat asset tersebut adalah 3 tahun,
maka dengan metode garis lurus diperoleh beban penyusutan per bulannya
adalah sebesar Rp 9.720.000,00 : (3tahun x 12bulan) = Rp 270.000,00 per bulan.

Perhitungan laba/rugi per bulan
Penjualan rata-rata:
Rp 15.000,00 x 30 porsi x 30 hari                     Rp 13.500.000,00

Pengeluaran satu bulan:
Biaya produksi:
  Bahan baku dan pembantu                             Rp  5.000.000,00 –
  Laba kotor satu bulan                               Rp  8.500.000,00

Biaya operasional dan umum:
  Sewa tempat Rp 22jt/12 bulan                        Rp  1.840.000,00
  Gaji 2 pegawai @ Rp 800.000,00                      Rp  1.600.000,00
  Penyusutan asset                                    Rp    270.000,00
  Iuran bulanan listrik, air dll                      Rp    500.000,00
  Keamanan dan kebersihan                             Rp    500.000,00
  Transportasi                                        Rp    600.000,00
  Lain-lain                                           Rp    200.000,00+
  Jumlah                                              Rp  5.510.000,00
Laba Bersih Satu Bulan                                Rp  2.990.000,00

cerita berusaha foodcourt skala kecil...


Mencicipi usaha food court rumahan

Bila memiliki lahan luas, cobalah membuka usaha pujasera atau food court kecil-kecilan. Anda bisa mencontek pengembang dengan memanfaatkan uang milik penyewa sebagai modal. Kalau lokasinya strategis, dalam hitungan bulan sudah bisa menggapai titik impas. Makin banyak masyarakat Indonesia yang suka jajan. Eit, jangan mengurut dada dulu, jajan di sini bukan dalam artian konotatif, melainkan arti sebenarnya.

Tengok saja food court di mal yang lokasinya strategis atau warung-warung di lokasi perkantoran yang selalu penuh sesak. Sama seperti kongko di kafe, jajan bukan sekadar pengisi perut, tapi sudah menjadi gaya hidup. Kalau sudah begini, pengelola mal dan pemilik warung bisa menyunggingkan senyum lebar-lebar. Tapi, senyum itu bukan hanya buat mereka, kok. Kendati bukan pemilik mal dan tak piawai membikin makanan yang bisa membuat lidah bergoyang, Anda pun bisa melahap rezeki nan halal ini.

Bikin saja food court alias pusat jajan serbaada (pujasera) rumahan. Syaratnya gampang, kok, asal punya lahan di lokasi strategis, kreatif bikin dekorasi, dan gigih dalam memasarkan. Tengok saja yang dilakukan seorang penghuni perumahan di kawasan Ciputat, Tangerang, yang rupanya masih malu untuk menyebutkan jati dirinya. Tiga bulan lalu, bersama sang istri dia merombak rumahnya yang cukup luas untuk dijadikan food court kecil-kecilan.

Yang berjualan di pujasera ini adalah para pedagang makanan yang tadinya menempati lahan milik pengembang perumahan itu. Nah, suatu ketika sang pengembang berniat memanfaatkan lahan tersebut sehingga para pedagang tergusur. "Ini kan perumahan baru, jadi sulit cari makanan. Makanya kami rombak rumah lalu kami tampung para pedagang itu," jelasnya. Ketimbang harus keluar kompleks dan keluar ongkos ojek, para penghuni lebih suka menyambangi food court milik dia. Walhasil, saban hari pujasera itu ramai dikunjungi pembeli. Tak ada menu yang samaModal Anda cekak? Don't worry be happy.

Simak saja pengalaman Ryan Heryandi ketika membuka Pondok 1000 Rasa di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dua tahun silam. "Saya hanya punya lahan 350 m2, tapi enggak punya uang. Mau pinjam ke bank takut, butuh jaminan rumah," ucapnya. Alumni Universitas Parahiyangan Bandung itu pun lantas putar otak. Akhirnya ia membeli selembar tripleks, lalu menggantungnya di depan rumah. "Segera dibuka food court, hubungi nomor xxxx," begitu gaya Ryan berpromosi demi menjaring calon penyewa pujasera miliknya. Tak lama kemudian, banyak calon penyewa menyambangi Ryan dan menanyakan konsep yang bakal diusung. Ia pun menjelaskan, konsepnya meniru food court di mal Pondok Indah, tempat Ryan berniaga sebelumnya.

Rupanya konsep tersebut membuat hati calon penyewa kepincut. Apalagi lokasinya memang sangat strategis, di pinggir jalan dan persis di samping markas besar Grup Jawa Pos di Jakarta. Dalam tempo sebulan, setelah melewati proses seleksi, Ryan sudah mendapatkan 20 pedagang sebagai penyewa. "Seleksinya, tak ada counter yang memiliki menu sama. Tujuannya agar tak saling sikut," ungkapnya. Ia menarik uang sewa Rp 500.000 sebulan, dan para pedagang harus menyewa selama tiga bulan.

Selain itu, para penyewa juga kudu membayar uang jaminan Rp 1 juta. Jadinya setiap pedagang menyetor duit sebesar Rp 2,5 juta. Nah, kendati pujasera belum berdiri, Ryan sudah mampu mengumpulkan uang Rp 50 juta yang digunakan sebagai modal awal. Ryan pun langsung merombak rumahnya. Sebanyak Rp 40 juta habis untuk dekorasi, struktur bangunan, kayu, dan biaya tukang. Sisanya Rp 10 juta ia gunakan untuk membeli meja, kursi, instalasi listrik, tebang pohon, dan izin pemda. Untuk perizinan, sebenarnya hanya dikenakan Rp 200.000.

Namun, di negeri jagoan korupsi ini, biaya tersebut membengkak hingga lima kali lipat. Adapun untuk tempat atau gerobak disediakan oleh penyewa, Ryan hanya menyediakan penyekat. Sebagai pelengkap, Pondok 1000 Rasa menyediakan satu televisi dan memajang beberapa lukisan.Setelah berjalan dua tahun, penyewa Pondok 1000 Rasa keluar masuk. Kini, dari 20 tinggal tersisa 12 konter. Seiring dengan berjalannya waktu, uang jaminan para penyewa awal sudah dikembalikan.

Uang sewa pun kini fleksibel, bisa bulanan Rp 500.000 atau harian sebesar Rp 20.000 per hari. Para pedagang lebih nyamanSelain di lokasi perumahan atau dekat perkantoran, kampus dan sekolah juga bisa menjadi tempat potensial untuk food court rumahan. Tengok saja yang sedang dipersiapkan Kiki Rizki di kawasan Buah Batu Bandung, Jawa Barat. Bertepatan dengan tahun ajaran baru pekan depan, ia membuka food court di halaman rumahnya seluas 45 m2. Maklum, rumahnya berhadapan langsung dengan SMP 13 Bandung.

Awalnya di tempat itu Kiki hanya berjualan jus. Namun, ia melihat ada peluang untuk mendirikan pujasera bagi anak-anak sekolah itu. Kini ia sudah menyekat ruang untuk 10 konter dengan luas masing-masing 1 x 1,5 meter, biayanya Rp 500.000. Lantaran mengincar pangsa anak sekolahan, konsep food court dan harga jajanan tentu disesuaikan. Paling tidak untuk harga harus di bawah goceng. Makanya biaya sewa yang dipasang Kiki tidak sebesar Pondok 1000 rasa. "Paling Rp 200.000 sebulan," kata Kiki.

Ia optimistis bisa segera mewujudkan usahanya itu. Menurut Ryan, selain lokasi yang pas, kunci keberhasilan membuka food court rumahan adalah bagaimana meyakinkan orang. "Saya kan enggak punya apa-apa, hanya konsep yang ada di otak," bebernya. Umumnya food court di lokasi perkantoran, sekolah, dan kampus buka hari Senin sampai Sabtu. Adanya pujasera rumahan ini tentu saja menguntungkan kedua belah pihak. Si pemilik memperoleh penghasilan, sedangkan pedagang dan pembeli mendapatkan kenyamanan.

Pemilik pujasera sudah menanggung seluruh biaya yang biasa dikeluarkan oleh para pedagang. Artinya, pemilik harus menanggung biaya listrik, biaya keamanan, kebersihan dan biaya tetek bengek lainnya. Jadi, pedagang tak perlu pusing-pusing lagi.Bayangkan kalau pedagang berkeliaran dengan tenda-tenda di pinggir jalan. Sudah dipalaki preman dan aparat, para pedagang juga mesti siap kalau tramtib yang terkenal galak-galak mengusir mereka. Kalau sudah begini, seenak apa pun makanan yang disajikan, para pejajan bisa merasa tak nyaman.

link ini di ambil dari > 
http://peluangbisnis-usaha.blogspot.com/2008/10/mencicipi-usaha-food-court-rumahan.html

Senin, 26 September 2011

catatan kaki saya

Catatan Kaki saya merupakan sebuah catatan kecil tentang informasi dari apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan. mulai dari cerita-cerita konyol, informasi tentang dunia musik, kriminal, dan berita unik lainnya.
 
Di kemas dalam bentuk sebuah buku catatan kecil, dan di tambah dengan foto foto sebagai penunjang informasi, di harapkan dapat memberikan informasi yang mudah dipahami untuk para pembaca.

terima kasih.
mohon kritik dan sarannya,

salam blogger

.