Mencicipi usaha food court rumahan
Bila memiliki lahan luas, cobalah membuka usaha pujasera atau food court kecil-kecilan. Anda bisa mencontek pengembang dengan memanfaatkan uang milik penyewa sebagai modal. Kalau lokasinya strategis, dalam hitungan bulan sudah bisa menggapai titik impas. Makin banyak masyarakat Indonesia yang suka jajan. Eit, jangan mengurut dada dulu, jajan di sini bukan dalam artian konotatif, melainkan arti sebenarnya.
Tengok saja food court di mal yang lokasinya strategis atau warung-warung di lokasi perkantoran yang selalu penuh sesak. Sama seperti kongko di kafe, jajan bukan sekadar pengisi perut, tapi sudah menjadi gaya hidup. Kalau sudah begini, pengelola mal dan pemilik warung bisa menyunggingkan senyum lebar-lebar. Tapi, senyum itu bukan hanya buat mereka, kok. Kendati bukan pemilik mal dan tak piawai membikin makanan yang bisa membuat lidah bergoyang, Anda pun bisa melahap rezeki nan halal ini.
Bikin saja food court alias pusat jajan serbaada (pujasera) rumahan. Syaratnya gampang, kok, asal punya lahan di lokasi strategis, kreatif bikin dekorasi, dan gigih dalam memasarkan. Tengok saja yang dilakukan seorang penghuni perumahan di kawasan Ciputat, Tangerang, yang rupanya masih malu untuk menyebutkan jati dirinya. Tiga bulan lalu, bersama sang istri dia merombak rumahnya yang cukup luas untuk dijadikan food court kecil-kecilan.
Yang berjualan di pujasera ini adalah para pedagang makanan yang tadinya menempati lahan milik pengembang perumahan itu. Nah, suatu ketika sang pengembang berniat memanfaatkan lahan tersebut sehingga para pedagang tergusur. "Ini kan perumahan baru, jadi sulit cari makanan. Makanya kami rombak rumah lalu kami tampung para pedagang itu," jelasnya. Ketimbang harus keluar kompleks dan keluar ongkos ojek, para penghuni lebih suka menyambangi food court milik dia. Walhasil, saban hari pujasera itu ramai dikunjungi pembeli. Tak ada menu yang samaModal Anda cekak? Don't worry be happy.
Simak saja pengalaman Ryan Heryandi ketika membuka Pondok 1000 Rasa di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dua tahun silam. "Saya hanya punya lahan 350 m2, tapi enggak punya uang. Mau pinjam ke bank takut, butuh jaminan rumah," ucapnya. Alumni Universitas Parahiyangan Bandung itu pun lantas putar otak. Akhirnya ia membeli selembar tripleks, lalu menggantungnya di depan rumah. "Segera dibuka food court, hubungi nomor xxxx," begitu gaya Ryan berpromosi demi menjaring calon penyewa pujasera miliknya. Tak lama kemudian, banyak calon penyewa menyambangi Ryan dan menanyakan konsep yang bakal diusung. Ia pun menjelaskan, konsepnya meniru food court di mal Pondok Indah, tempat Ryan berniaga sebelumnya.
Rupanya konsep tersebut membuat hati calon penyewa kepincut. Apalagi lokasinya memang sangat strategis, di pinggir jalan dan persis di samping markas besar Grup Jawa Pos di Jakarta. Dalam tempo sebulan, setelah melewati proses seleksi, Ryan sudah mendapatkan 20 pedagang sebagai penyewa. "Seleksinya, tak ada counter yang memiliki menu sama. Tujuannya agar tak saling sikut," ungkapnya. Ia menarik uang sewa Rp 500.000 sebulan, dan para pedagang harus menyewa selama tiga bulan.
Selain itu, para penyewa juga kudu membayar uang jaminan Rp 1 juta. Jadinya setiap pedagang menyetor duit sebesar Rp 2,5 juta. Nah, kendati pujasera belum berdiri, Ryan sudah mampu mengumpulkan uang Rp 50 juta yang digunakan sebagai modal awal. Ryan pun langsung merombak rumahnya. Sebanyak Rp 40 juta habis untuk dekorasi, struktur bangunan, kayu, dan biaya tukang. Sisanya Rp 10 juta ia gunakan untuk membeli meja, kursi, instalasi listrik, tebang pohon, dan izin pemda. Untuk perizinan, sebenarnya hanya dikenakan Rp 200.000.
Namun, di negeri jagoan korupsi ini, biaya tersebut membengkak hingga lima kali lipat. Adapun untuk tempat atau gerobak disediakan oleh penyewa, Ryan hanya menyediakan penyekat. Sebagai pelengkap, Pondok 1000 Rasa menyediakan satu televisi dan memajang beberapa lukisan.Setelah berjalan dua tahun, penyewa Pondok 1000 Rasa keluar masuk. Kini, dari 20 tinggal tersisa 12 konter. Seiring dengan berjalannya waktu, uang jaminan para penyewa awal sudah dikembalikan.
Uang sewa pun kini fleksibel, bisa bulanan Rp 500.000 atau harian sebesar Rp 20.000 per hari. Para pedagang lebih nyamanSelain di lokasi perumahan atau dekat perkantoran, kampus dan sekolah juga bisa menjadi tempat potensial untuk food court rumahan. Tengok saja yang sedang dipersiapkan Kiki Rizki di kawasan Buah Batu Bandung, Jawa Barat. Bertepatan dengan tahun ajaran baru pekan depan, ia membuka food court di halaman rumahnya seluas 45 m2. Maklum, rumahnya berhadapan langsung dengan SMP 13 Bandung.
Awalnya di tempat itu Kiki hanya berjualan jus. Namun, ia melihat ada peluang untuk mendirikan pujasera bagi anak-anak sekolah itu. Kini ia sudah menyekat ruang untuk 10 konter dengan luas masing-masing 1 x 1,5 meter, biayanya Rp 500.000. Lantaran mengincar pangsa anak sekolahan, konsep food court dan harga jajanan tentu disesuaikan. Paling tidak untuk harga harus di bawah goceng. Makanya biaya sewa yang dipasang Kiki tidak sebesar Pondok 1000 rasa. "Paling Rp 200.000 sebulan," kata Kiki.
Ia optimistis bisa segera mewujudkan usahanya itu. Menurut Ryan, selain lokasi yang pas, kunci keberhasilan membuka food court rumahan adalah bagaimana meyakinkan orang. "Saya kan enggak punya apa-apa, hanya konsep yang ada di otak," bebernya. Umumnya food court di lokasi perkantoran, sekolah, dan kampus buka hari Senin sampai Sabtu. Adanya pujasera rumahan ini tentu saja menguntungkan kedua belah pihak. Si pemilik memperoleh penghasilan, sedangkan pedagang dan pembeli mendapatkan kenyamanan.
Pemilik pujasera sudah menanggung seluruh biaya yang biasa dikeluarkan oleh para pedagang. Artinya, pemilik harus menanggung biaya listrik, biaya keamanan, kebersihan dan biaya tetek bengek lainnya. Jadi, pedagang tak perlu pusing-pusing lagi.Bayangkan kalau pedagang berkeliaran dengan tenda-tenda di pinggir jalan. Sudah dipalaki preman dan aparat, para pedagang juga mesti siap kalau tramtib yang terkenal galak-galak mengusir mereka. Kalau sudah begini, seenak apa pun makanan yang disajikan, para pejajan bisa merasa tak nyaman.
Tengok saja food court di mal yang lokasinya strategis atau warung-warung di lokasi perkantoran yang selalu penuh sesak. Sama seperti kongko di kafe, jajan bukan sekadar pengisi perut, tapi sudah menjadi gaya hidup. Kalau sudah begini, pengelola mal dan pemilik warung bisa menyunggingkan senyum lebar-lebar. Tapi, senyum itu bukan hanya buat mereka, kok. Kendati bukan pemilik mal dan tak piawai membikin makanan yang bisa membuat lidah bergoyang, Anda pun bisa melahap rezeki nan halal ini.
Bikin saja food court alias pusat jajan serbaada (pujasera) rumahan. Syaratnya gampang, kok, asal punya lahan di lokasi strategis, kreatif bikin dekorasi, dan gigih dalam memasarkan. Tengok saja yang dilakukan seorang penghuni perumahan di kawasan Ciputat, Tangerang, yang rupanya masih malu untuk menyebutkan jati dirinya. Tiga bulan lalu, bersama sang istri dia merombak rumahnya yang cukup luas untuk dijadikan food court kecil-kecilan.
Yang berjualan di pujasera ini adalah para pedagang makanan yang tadinya menempati lahan milik pengembang perumahan itu. Nah, suatu ketika sang pengembang berniat memanfaatkan lahan tersebut sehingga para pedagang tergusur. "Ini kan perumahan baru, jadi sulit cari makanan. Makanya kami rombak rumah lalu kami tampung para pedagang itu," jelasnya. Ketimbang harus keluar kompleks dan keluar ongkos ojek, para penghuni lebih suka menyambangi food court milik dia. Walhasil, saban hari pujasera itu ramai dikunjungi pembeli. Tak ada menu yang samaModal Anda cekak? Don't worry be happy.
Simak saja pengalaman Ryan Heryandi ketika membuka Pondok 1000 Rasa di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dua tahun silam. "Saya hanya punya lahan 350 m2, tapi enggak punya uang. Mau pinjam ke bank takut, butuh jaminan rumah," ucapnya. Alumni Universitas Parahiyangan Bandung itu pun lantas putar otak. Akhirnya ia membeli selembar tripleks, lalu menggantungnya di depan rumah. "Segera dibuka food court, hubungi nomor xxxx," begitu gaya Ryan berpromosi demi menjaring calon penyewa pujasera miliknya. Tak lama kemudian, banyak calon penyewa menyambangi Ryan dan menanyakan konsep yang bakal diusung. Ia pun menjelaskan, konsepnya meniru food court di mal Pondok Indah, tempat Ryan berniaga sebelumnya.
Rupanya konsep tersebut membuat hati calon penyewa kepincut. Apalagi lokasinya memang sangat strategis, di pinggir jalan dan persis di samping markas besar Grup Jawa Pos di Jakarta. Dalam tempo sebulan, setelah melewati proses seleksi, Ryan sudah mendapatkan 20 pedagang sebagai penyewa. "Seleksinya, tak ada counter yang memiliki menu sama. Tujuannya agar tak saling sikut," ungkapnya. Ia menarik uang sewa Rp 500.000 sebulan, dan para pedagang harus menyewa selama tiga bulan.
Selain itu, para penyewa juga kudu membayar uang jaminan Rp 1 juta. Jadinya setiap pedagang menyetor duit sebesar Rp 2,5 juta. Nah, kendati pujasera belum berdiri, Ryan sudah mampu mengumpulkan uang Rp 50 juta yang digunakan sebagai modal awal. Ryan pun langsung merombak rumahnya. Sebanyak Rp 40 juta habis untuk dekorasi, struktur bangunan, kayu, dan biaya tukang. Sisanya Rp 10 juta ia gunakan untuk membeli meja, kursi, instalasi listrik, tebang pohon, dan izin pemda. Untuk perizinan, sebenarnya hanya dikenakan Rp 200.000.
Namun, di negeri jagoan korupsi ini, biaya tersebut membengkak hingga lima kali lipat. Adapun untuk tempat atau gerobak disediakan oleh penyewa, Ryan hanya menyediakan penyekat. Sebagai pelengkap, Pondok 1000 Rasa menyediakan satu televisi dan memajang beberapa lukisan.Setelah berjalan dua tahun, penyewa Pondok 1000 Rasa keluar masuk. Kini, dari 20 tinggal tersisa 12 konter. Seiring dengan berjalannya waktu, uang jaminan para penyewa awal sudah dikembalikan.
Uang sewa pun kini fleksibel, bisa bulanan Rp 500.000 atau harian sebesar Rp 20.000 per hari. Para pedagang lebih nyamanSelain di lokasi perumahan atau dekat perkantoran, kampus dan sekolah juga bisa menjadi tempat potensial untuk food court rumahan. Tengok saja yang sedang dipersiapkan Kiki Rizki di kawasan Buah Batu Bandung, Jawa Barat. Bertepatan dengan tahun ajaran baru pekan depan, ia membuka food court di halaman rumahnya seluas 45 m2. Maklum, rumahnya berhadapan langsung dengan SMP 13 Bandung.
Awalnya di tempat itu Kiki hanya berjualan jus. Namun, ia melihat ada peluang untuk mendirikan pujasera bagi anak-anak sekolah itu. Kini ia sudah menyekat ruang untuk 10 konter dengan luas masing-masing 1 x 1,5 meter, biayanya Rp 500.000. Lantaran mengincar pangsa anak sekolahan, konsep food court dan harga jajanan tentu disesuaikan. Paling tidak untuk harga harus di bawah goceng. Makanya biaya sewa yang dipasang Kiki tidak sebesar Pondok 1000 rasa. "Paling Rp 200.000 sebulan," kata Kiki.
Ia optimistis bisa segera mewujudkan usahanya itu. Menurut Ryan, selain lokasi yang pas, kunci keberhasilan membuka food court rumahan adalah bagaimana meyakinkan orang. "Saya kan enggak punya apa-apa, hanya konsep yang ada di otak," bebernya. Umumnya food court di lokasi perkantoran, sekolah, dan kampus buka hari Senin sampai Sabtu. Adanya pujasera rumahan ini tentu saja menguntungkan kedua belah pihak. Si pemilik memperoleh penghasilan, sedangkan pedagang dan pembeli mendapatkan kenyamanan.
Pemilik pujasera sudah menanggung seluruh biaya yang biasa dikeluarkan oleh para pedagang. Artinya, pemilik harus menanggung biaya listrik, biaya keamanan, kebersihan dan biaya tetek bengek lainnya. Jadi, pedagang tak perlu pusing-pusing lagi.Bayangkan kalau pedagang berkeliaran dengan tenda-tenda di pinggir jalan. Sudah dipalaki preman dan aparat, para pedagang juga mesti siap kalau tramtib yang terkenal galak-galak mengusir mereka. Kalau sudah begini, seenak apa pun makanan yang disajikan, para pejajan bisa merasa tak nyaman.
link ini di ambil dari >
Tidak ada komentar:
Posting Komentar