SENYUM hangat matahari pagi menyapa bukit hijau nan elok. Empat sekawan Teletubbies --Tinky Winky, Dipsy, Laa-Laa, dan Po-- menyembul dari perut bukit itu. Makhluk bertubuh montok ini, sejak awal November silam, setiap hari pukul 10.00 menghampiri anak-anak lewat layar kaca Indosiar. Mereka menjadi teman main balita.
''Teletubbies memang ditujukan bagi anak berumur dua hingga lima tahun,'' kata Anne Wood, produser yang melahirkan program TV Teletubbies. Anne adalah Direktur Kreativitas Ragdoll Production, perusahaan film di London, Inggris. Menurut Anne, Teletubbies dimaksudkan untuk membendung meluasnya film anak-anak yang memamerkan adu jotos semacam Power Rangers.
Pada musim dingin 1995, Anne mendapatkan ide untuk membuat film yang berkisah tentang dunia yang harmonis serta penuh kasih sayang. Sebuah dunia yang dihuni makhluk polos dan tak berdosa. Anne lantas menciptakan empat makhluk yang hidup di dunia khayalan. Sepanjang hidupnya, makhluk gemuk ini tinggal di dunia yang damai serba berkecukupan.
Keempatnya sengaja dibuat dengan warna tubuh yang berbeda. Yang berwana ungu namanya Tinky Winky. Dipsy berwarna hijau. Yang kuning namanya Laa-Laa. Sedangkan Po berwarna merah. Mereka hidup rukun, bermain bersama, tinggal di sebuah rumah khayalan di bawah tanah. Di pagi hari, mereka bermain di taman bukit hijau yang dihiasi aneka bunga.
Di perut mereka terdapat televisi. Kepalanya dihiasi mahkota antena. Tinky Winky berantena segitiga, Dipsy lurus. Antena spiral bertengger di kepala Laa-Laa, sedangkan Po antenanya bulat. Karena itu, dunia imajinasi karya Anne ini diberi nama Teletubbies --singkatan dari television in the tummy of the babies (televisi dalam perut bayi).
Dari dalam perut bayi Teletubbies ditayangkan berbagai pengetahuan dasar untuk balita. Misalnya tentang cacing di dalam tanah serta bagimana memberi makan ayam. Selain itu, empat tokoh Teletubbies berusaha mengulang ucapan narator. Tujuannya, kata Anne, agar terjadi ''sambung rasa'' antara penonton yang masih balita dan tokoh Teletubbies.
Dengan demikian, bocah cilik akan berusaha bicara dengan tokoh di layar kaca. ''Karena anak-anak melihat Teletubbies berbicara lucu. Hal ini akan mendorong rasa percaya diri anak untuk ikut mencoba,'' Anne menjelaskan. Teletubbies, katanya, merupakan gabungkan teknologi yang diwakili oleh televisi dan kelembutan bayi. Televisi, bagi anak-anak, adalah media ajaib sekaligus menjadi bagian dari dunia anak-anak.
''Mereka yang melarang anaknya nonton televisi sama saja dengan menolak kesempatan belajar bagi anaknya,'' kata Anne Wood, yang juga mengakui adanya ekses negatif dari tayangan televisi. Tapi, seperti halnya buku yang baik, kata Anne pula, tontonan yang baik dapat pula dipilih berdasarkan kebutuhan anak-anak.
Cerita Teletubbies dibuat berdasarkan riset perilaku anak-anak. Riset ini dilakukan dengan mengamati polah bocah-bocah di sebuah toko mainan yang didesain khusus. Periset juga membentuk tujuh kelompok diskusi anak balita. ''Kami memperhatikan cara mereka mengobrol, cara bermain. Juga bagaimana reaksi mereka terhadap program-program yang kami buat,'' kata Anne.
Karakter tokoh Teletubbies dikembangkan bersama Andrew Davenport sebagai penulis skenario. Andrew dan Anne membuat sebuah daftar dari kata dan frase pertama yang diciptakan anak-anak menjadi kosakata tokoh Teletubbies. ''Karena program ini memang dirancang untuk membantu pengembangan bahasa anak,'' Anne menambahkan.
Teletubbies pertama kali ditayangkan di BBC, jaringan televisi Inggris, 31 Maret 1997. Sambutannya luar biasa. Kemudian, BBC Worldwide memasarkannya ke pelbagai stasiun televisi di seluruh penjuru dunia. Kini, program untuk balita ini disiarkan di 45 negara. Hasil penjualan hak cipta Teletubbies pada 1998 mencapai hampir � 79 juta. Jumlah yang sama diperkirakan didapat pada 1999 dan 2000. Pendapatan Anne Wood dari Teletubbies sejak 1998 hingga 2000 rata-rata � 9 juta tiap tahunnya. Anne dinobatkan menjadi ''Britain's Top Businesswoman 1999''.
Sejauh ini, Anne masih merahasiakan proses produksi Teletubbies yang dibuat dengan teknologi animasi ini. Ia melarang wartawan masuk ruang produksinya. Menurut dia, dunia khayal anak-anak tak boleh dicampuri kepentingan orang dewasa.
Anne berang ketika wartawan The Sunday Times, koran terbitan Inggris, memotret pemain Teletubbies dengan kostum tanpa penutup kepala, awal Januari 1999. ''Ini mematikan imajinasi dan dunia khayal anak-anak,'' ujar Anne dengan nada tinggi. Ia mengajukan somasi ke pengadilan untuk menghentikan beredarnya foto-foto tersebut. Sejak itu, pers tak diizinkan hadir dalam proses produksi Teletubbies.
Di Indonesia, Teletubbies berhasil memikat anak-anak balita. Antitirani adalah satu dari sekian banyak balita yang gemar bemain dengan Teletubbies. Gadis cilik berusia dua setengah tahun ini tak pernah melewatkan acara itu. Bahkan, putri kedua Nyonya Yani, warga Jalan Kerja Bakti, Jakarta Timur, ini menangis ketika Teletubbies yang ditunggu dari pagi tak juga muncul di layar kaca. Selasa, 28 Maret lalu, Teletubbies memang absen mengunjungi penggemarnya. Pagi itu, Indosiar menyiarkan langsung jawaban memorandum I Presiden Abdurrahman Wahid dari Gedung MPR/DPR-RI. ''Anak saya menangis selama setengah jam,'' ujar Nyonya Yani.
Menurut Kepala Humas Indosiar, Ghufroni Syakaril, Teletubbies bukan cuma digemari balita. Remaja pun menggandrunginya. Ghufroni mengaku menerima banyak permintaan lewat surat dan telepon agar Teletubbies ditayangkan lebih pagi, sebelum bocah-bocah berangkat sekolah. ''Ada anak yang tak mau sekolah sebelum menonton Teletubbies,'' kata Ghufroni.
Demam Teletubbies tak sebatas di layar kaca. Bonekanya kini menjadi idola anak-anak. Harganya bervariasi, mulai Rp 7.500 hingga Rp 30.000. Beberapa pedagang menyatakan, penjualannya meningkat pesat sebulan terakhir ini.
Nyonya Maria, 36 tahun, pedagang di International Trade Centre (ITC), Mangga Dua, Jakarta Barat, cuma mampu menjual boneka rata-rata 25 buah per hari, dua bulan lalu. Sebulan ini, ia berhasil menjual 100 buah.
Di pusat perdagangan VCD, Glodok, Jakarta, Teletubbies juga diburu penggemarnya. Omset penjualan VCD ini menempati urutan teratas. ''Setiap hari, ribuan VCD Teletubbies terjual,'' ujar Buyung, pedagang VCD di situ. Sebanyak 20 judul VCD Teletubbies beredar di pasaran.
Selain boneka dan VCD, buku cerita tentang Teletubbies juga digemari anak-anak. Selama empat bulan terakhir ini, Penerbit Gramedia sudah menerbitkan 10 judul buku Teletubbies. Semuanya dicetak ulang empat kali. Cetakan pertama diedarkan 7.000 eksemplar, cetakan berikutnya masing-masing 10.000. Semuanya habis disedot pasar. Awal bulan ini, Gramedia mengedarkan buku seri Teletubbies cetakan keempat.
Heboh Teletubbies yang melanda dunia anak-anak Indonesia belakangan ini, menurut Ketua Yayasan Media Ramah Keluarga, Ade Armado, tak dapat dipisahkan dari daya pikat film ini. Kekuatan Teletubbies, kata Ade Armando, terletak pada dunianya yang spesifik anak-anak. ''Mungkin orang dewasa tak tertarik. Tapi, anak-anak sangat menikmatinya,'' ujar Ade kepada Mariana Ariestyawati dari Gatra.
Keunggulan Teletubbies lainnya, kata Ade pula, ceritanya tak mengada-ada. Kekurangan Teletubbies, yang di-dubbing dengan bahasa Indonesia ini, pengisian suaranya dilakukan orang dewasa. Padahal, versi aslinya, suara anak-anak.
Memang, menurut Ade Armando, pernah ada yang bilang bahwa Teletubbies tidak sehat. Alasannya, tokoh dalam film ini tidak jelas jenis kelaminnya. Sehingga ada yang bilang, program acara itu mengajarkan homoseksual atau lesbian. ''Padahal, bisa jadi alam pikiran anak-anak balita itu tak mementingkan jenis kelamin,'' kata Ade Armando.
[Heddy Lugito, Taufik Abriansyah, dan Rita Triana Budiarti]
[Televisi Gatra Nomor 22, beredar Senin 16 April 2001]
URL: http://arsip.gatra.com/2001-04-22/versi_cetak.php?id=5718
Tidak ada komentar:
Posting Komentar